Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Klasik
Manusia dengan akal pikirannya dapat membuat pandangan-pandangan atau pemikiran tentang ilmu pengetahuan, termasuk di dalamnya pemikiran tentang ekonomi. Kedudukan kal yang penting dan tinggi di dalam dunia Islam menjadikan kaum muslim memberikan kontribusi yang sangat besat terhadap kelangsungan dan perkembngan pemikiran dalam sedala bidang ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ekonomi Tetapi pemikiran kaum muslim telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat.
Para ilmuwan Barat tidak pernah menyebutkan dan memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia. Para ilmuwan tidak mencatat pemikiran yang dihasilkan oleh kaum muslimin selama 500 tahun dan dikenal sebagai the great gap. Sejarah pemikiran ekonomi Islam terbagi dalam empat fase, yaitu :
Fase Pertama; Fase Pembangunan (Abad VI-XI/ Abad 1-V H)
Fase pertama dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fuqaha. Pemikiran mereka mengacu kepada Al-Quran dan hadits dan berorientasi pada masalah utility (maslahah) dan mafsadah (disutility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Pemikiran para fuqaha terfokus pada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama adalah :
1. Zaid bin Ali (sebelum 80H/738 M)
Hasil pemikirnnya adalah tentang penjualan barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupqakan bentuk transaksi yang sah.
2. Abu Hanifah (80-150H/699-767M)
Hasil pemikirannya adalah tentang transaksi salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian, sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada saat akad disepakati.
3. Abu Yusuf (113-182H/731-798M)
Hasil pemikirannya adalah tentang tanggung jawab penguasa, pertanian, dan perpajakan yang ditulis dalam kitab al-Kharaj. Dalam bidang pertanian dia menyetujui Negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari penggarapan daripada menarik sewa dari lahan pertanian.
Dalam perpajakan. Abu Yusuf telah memberikan prinsip-prinsip tentang kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan sentralisasi pembuat keputusan dalam administrasi pajak.
Abu Yusuf juga menghasilkan pemikiran tentang harga, yaitu pengendalian harga. Penguasa dilarang menetapkan harga, karena penentuan harga didasarkan pada kekuatan permintaan dan penawaran.
Keuangan publik juga merupakan hasil pemikiran Abu Yusuf yaitu tentang cara memperoleh sumber-sumber perbelanjaan untuk pembanguan jangka panjang.
4. Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (132-189H/750-804M)
Hasil pemikirannya adalah tentang pendpatan dan belanja rumah tangga. Adanya pengklasifikasian terhadap perkerjaan, yaitu ijarah (sewa-menyew), tijarah (perdagangan), zira’ah (pertanian) dan shina’ah (industri).
5. Ibnu Maskawaih (421H/1030M)
Hasil pemikirannya adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan bahwa benda yang dapat dijadikan mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui konvensi, yaitu tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang, dan orang senang melihatnya.
Fase Kedua, Fase Cemerlang (Abad XI-XV)
Pada fase ini banyak meninggalkan hasil karya atau warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendikiawan muslim mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang berlandaskan Al-Qur’an an hadits. Pada masa ini juga mulai terjadi disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan merebaknya korupsi di kalangan penguasa. Tokoh-tokoh pemikir pada fase kedua adalah :
1. Al-Ghazali (505H/1111M)
Hasil pemikirannya adalah tentang teori harga (pricing theory), yaitu harga tidak boleh ditentukan secara kaku. Harga dibentuk oleh beberapa faktor: pertama, cost plus, yaitu biaya tenaga kerja, transportasi, keuntungan, dan biaya bahan baku. Kedua, market, yaitu kelaziman pasar, di mana harga dibentuk atas dasar permintaan dan penawaran sehingga tidak ada yang bleh merusak harga pasar. Ketiga, kesepakatan para pihak, yaitu harga terjadi karena adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertransaksi.
2. Ibnu Taimiyah (728H/1328M)
Hasil pemikirannya adalah tentang syirkah. Keadilan hanya dapat terwujud jika semua akad berdasarkan pada kesepakatan semua pihak. Dalam kesepakatan harus mengedepankan moralitas agama.
3. Ibnu Khaldun (732-808H/1332-1406M)
Hasil pemikirannya adalah tentang :
a. Teori produksi, menurutnya produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan secara sosial dan internasional.
b. Teori nilai dan harga
c. Teori distribusi
d. Teori siklus, yaitu produksi bergantung kepada penawaran dan permintaan terhadap produk.
e. Public Finance
4. Al-Maqrizi (845H/1441M)
Hasil pemikirannya adalah tentang uang dan kenaikan harga-harga ang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan. Al-Maqrizi pun mengatakan bahwa emas dan perak merupakan satu-satunya mata uang ang dapat dijadikan standar nilai sebagaimana yang telah ditentukan dalam syariah.
Fase Ketiga, Fase Kemunduran (Abad XV-XX/1446-1932M)
Pada fase ini para fuqaha hanya menullis catatan-catatan pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai standar bagi masing-masing madzhab.
Salah satu tokoh ekonomi Islam pada fase ini adalah Shah Waliullah, yang menjelaskan pentingnya kerjasama sebagai dasar kegiatan ekonomi. Dilarang perjudian dan riba adalah sebab bertentangan dengan prinsip kerjasama tersebut. Semua tempat pada dasarnya, seperti mesjid atau tempat beristirahat untuk orang yang melakukan perjalanan, digunsksn secara bersama dengan dasar first come first served (yang datang duluan mendapat pelayanan duluan).
Shah Walilullah juga menjelaskan perlu adanya pemerintah yang memiliki pegawai untuk menjaga keamanan, hukum dan peraturan, peradilan dan lain sebagainya, serta untuk membangun jembatan, jalan, gedung dan lain sebagainya: Oleh karena itu, pajak diperlukan untuk memenuhi pengeluaran rutin dan perigeluaran pembangunan yang bila tidak dilakukan oleh pernerintah akan sulit untuk dilakukan oleh rakyat atau jauh di luar kemampuan rakyat untuk melakukannya.
Tokoh-tokoh pemikir lainnya pada masa ini adalah Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Iqbal.
Fase Keempat, Fase Institusionalisasi atau Pembangunan Kembali
Pada fase ini telah lahir pemikir-pemikir ekonomi yang hasil pemikirannya telah menjadi acuan dalam kegiatan ekonomi syariah, di antaranya M Akrm Khan, M Abdul Mannan, M Umar Chapra, Khursyid Ahmad, M Nejatullah ash-Shiddiqi.
Para ilmuwan Barat tidak pernah menyebutkan dan memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia. Para ilmuwan tidak mencatat pemikiran yang dihasilkan oleh kaum muslimin selama 500 tahun dan dikenal sebagai the great gap. Sejarah pemikiran ekonomi Islam terbagi dalam empat fase, yaitu :
Fase Pertama; Fase Pembangunan (Abad VI-XI/ Abad 1-V H)
Fase pertama dikenal sebagai fase dasar-dasar ekonomi Islam yang dirintis oleh para fuqaha. Pemikiran mereka mengacu kepada Al-Quran dan hadits dan berorientasi pada masalah utility (maslahah) dan mafsadah (disutility) yang terkait dengan aktivitas ekonomi. Pemikiran para fuqaha terfokus pada apa manfaat sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian bila melaksanakan sesuatu yang dilarang agama.
Tokoh-tokoh pemikir ekonomi Islam pada fase pertama adalah :
1. Zaid bin Ali (sebelum 80H/738 M)
Hasil pemikirnnya adalah tentang penjualan barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi daripada harga tunai merupqakan bentuk transaksi yang sah.
2. Abu Hanifah (80-150H/699-767M)
Hasil pemikirannya adalah tentang transaksi salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian, sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada saat akad disepakati.
3. Abu Yusuf (113-182H/731-798M)
Hasil pemikirannya adalah tentang tanggung jawab penguasa, pertanian, dan perpajakan yang ditulis dalam kitab al-Kharaj. Dalam bidang pertanian dia menyetujui Negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari penggarapan daripada menarik sewa dari lahan pertanian.
Dalam perpajakan. Abu Yusuf telah memberikan prinsip-prinsip tentang kesanggupan membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak, dan sentralisasi pembuat keputusan dalam administrasi pajak.
Abu Yusuf juga menghasilkan pemikiran tentang harga, yaitu pengendalian harga. Penguasa dilarang menetapkan harga, karena penentuan harga didasarkan pada kekuatan permintaan dan penawaran.
Keuangan publik juga merupakan hasil pemikiran Abu Yusuf yaitu tentang cara memperoleh sumber-sumber perbelanjaan untuk pembanguan jangka panjang.
4. Muhammad bin al-Hasan asy-Syaibani (132-189H/750-804M)
Hasil pemikirannya adalah tentang pendpatan dan belanja rumah tangga. Adanya pengklasifikasian terhadap perkerjaan, yaitu ijarah (sewa-menyew), tijarah (perdagangan), zira’ah (pertanian) dan shina’ah (industri).
5. Ibnu Maskawaih (421H/1030M)
Hasil pemikirannya adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan bahwa benda yang dapat dijadikan mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui konvensi, yaitu tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang, dan orang senang melihatnya.
Fase Kedua, Fase Cemerlang (Abad XI-XV)
Pada fase ini banyak meninggalkan hasil karya atau warisan intelektual yang sangat kaya. Para cendikiawan muslim mampu menyusun suatu konsep tentang bagaimana umat melaksanakan kegiatan ekonomi yang berlandaskan Al-Qur’an an hadits. Pada masa ini juga mulai terjadi disintegrasi pusat kekuasaan Bani Abbasiyah dan merebaknya korupsi di kalangan penguasa. Tokoh-tokoh pemikir pada fase kedua adalah :
1. Al-Ghazali (505H/1111M)
Hasil pemikirannya adalah tentang teori harga (pricing theory), yaitu harga tidak boleh ditentukan secara kaku. Harga dibentuk oleh beberapa faktor: pertama, cost plus, yaitu biaya tenaga kerja, transportasi, keuntungan, dan biaya bahan baku. Kedua, market, yaitu kelaziman pasar, di mana harga dibentuk atas dasar permintaan dan penawaran sehingga tidak ada yang bleh merusak harga pasar. Ketiga, kesepakatan para pihak, yaitu harga terjadi karena adanya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertransaksi.
2. Ibnu Taimiyah (728H/1328M)
Hasil pemikirannya adalah tentang syirkah. Keadilan hanya dapat terwujud jika semua akad berdasarkan pada kesepakatan semua pihak. Dalam kesepakatan harus mengedepankan moralitas agama.
3. Ibnu Khaldun (732-808H/1332-1406M)
Hasil pemikirannya adalah tentang :
a. Teori produksi, menurutnya produksi adalah aktivitas manusia yang diorganisasikan secara sosial dan internasional.
b. Teori nilai dan harga
c. Teori distribusi
d. Teori siklus, yaitu produksi bergantung kepada penawaran dan permintaan terhadap produk.
e. Public Finance
4. Al-Maqrizi (845H/1441M)
Hasil pemikirannya adalah tentang uang dan kenaikan harga-harga ang terjadi secara periodik dalam keadaan kelaparan. Al-Maqrizi pun mengatakan bahwa emas dan perak merupakan satu-satunya mata uang ang dapat dijadikan standar nilai sebagaimana yang telah ditentukan dalam syariah.
Fase Ketiga, Fase Kemunduran (Abad XV-XX/1446-1932M)
Pada fase ini para fuqaha hanya menullis catatan-catatan pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai standar bagi masing-masing madzhab.
Salah satu tokoh ekonomi Islam pada fase ini adalah Shah Waliullah, yang menjelaskan pentingnya kerjasama sebagai dasar kegiatan ekonomi. Dilarang perjudian dan riba adalah sebab bertentangan dengan prinsip kerjasama tersebut. Semua tempat pada dasarnya, seperti mesjid atau tempat beristirahat untuk orang yang melakukan perjalanan, digunsksn secara bersama dengan dasar first come first served (yang datang duluan mendapat pelayanan duluan).
Shah Walilullah juga menjelaskan perlu adanya pemerintah yang memiliki pegawai untuk menjaga keamanan, hukum dan peraturan, peradilan dan lain sebagainya, serta untuk membangun jembatan, jalan, gedung dan lain sebagainya: Oleh karena itu, pajak diperlukan untuk memenuhi pengeluaran rutin dan perigeluaran pembangunan yang bila tidak dilakukan oleh pernerintah akan sulit untuk dilakukan oleh rakyat atau jauh di luar kemampuan rakyat untuk melakukannya.
Tokoh-tokoh pemikir lainnya pada masa ini adalah Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Iqbal.
Fase Keempat, Fase Institusionalisasi atau Pembangunan Kembali
Pada fase ini telah lahir pemikir-pemikir ekonomi yang hasil pemikirannya telah menjadi acuan dalam kegiatan ekonomi syariah, di antaranya M Akrm Khan, M Abdul Mannan, M Umar Chapra, Khursyid Ahmad, M Nejatullah ash-Shiddiqi.