Memahami Prinsip Dasar Konsumsi dalam Ekonomi Islam
Dalam ekonomi konvensional, kebutuhan dan keinginan tidak dapat dipisahkan. Di mana setiap individu mempunyai suatu kebutuhan yang akan diterjemahkan oleh keinginan mereka. Seseorang yang sedang membutuhkan makan karena perutnya lapar, akan mempertimbangkan beberapa keinginan dalam memenuhi kebutuhannya tersebut.
Dalam perspektif islam, kebutuhan ditentukan oleh maslahah. Pembahasan tentang konsep kebutuhan tidak dapat dipisahkan dari kajian tentang perilaku konsumen dalam kerangka malqhasid syariah. Di mana tujuan syariah hanya dapat menentukan tujuan perilaku konsumen dalam islam.
Memenuhi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan atau keinginan yaitu tujuan dari aktivitas ekonomi islam, dan usaha-usaha untuk pencapaian tujuan tersebut merupakan salah satu kewajiban dalam agama. Konsep kebutuhan dalam islam bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat.
Konsumsi dalam ekonomi islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).
Dalam melakukan konsumsi maka prilaku konsumen terutama seorang Muslim selalu dan harus didasarkan pada syariah Islam.
Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat merupakan tingkat kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kebutuhan dharuriyat mencakup:
Lima kebutuhan dharuriyat (esensial) yang mencakup din, nafs, ‘aql, nasl, dan mal, merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bila satu jenis saja yang sengaja diabaikan, maka akan menimbulkan ketimpangan dalam hidup manusia.
Hajiyat
Kebutuhan hajiyat adalah kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan tersebut tidak terwujudkan atau tidak terpenuhi, tidak akan mengancam keselamatan manusia. Namun, akan mengalami kesulitan. Syariat islam menghilangkan kesulitan itu, dengan adanya hukum rukhsah (keringinan) adalah sebagai contoh dari kepedulian syariat islam terhadap kebutuhan ini.
Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat adalah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksitensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, dikenal juga sebagai kebutuhan tersier.
Seperti dikemukakan oleh Al-Syatibi, hal-hal yang istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yangsesuai dengan tuntutan, norma dan ahklak.
Konsep mashlahah dalam konsumsi sesuai dengan maqhasid al-syari’ah
Konsumsi merupakan kegiatan menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi adalah semua penggunaan barang dan jasa yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Barang dan jasa dalam produksi ini digunakan untuk memproduksi barang lain. Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen diatas tersebut pada setiap individu, itulah yang disubut dengan masslahah.
Aktivitas ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut mashlahah tersebut harus dikerjakan sebagai ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan dunia saja tetapi juga kesejahteraan akhirat. Mencakupi kebutuhan dan bukan memenuhi kebutuhan/keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi islam, dan usaha pencapaian tujuan adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Menurut Hendri Anto ada empat hal mashlahah:
1. Mashlahah relative objektif karena bertolak pada pemenuhan kebutuhan karena ditentukan bedasarkan pertimbangkan rasional normatif dan positif.
2. Mashlahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi yaitu, produsen , konsumen, dan distributor, maka arah pembangunan ekonomi akan menuju pada titik yang sama yaitu peningkatan kesejahteraan hidup.
3. Maslahah individual akan relatif konsisten dangan mashlahah sosial.
4. Mashlahah merupakan konsep yang lebih terukur (accountable) dan dapat diperbandingkan (comparable) sehingga lebih mudah disusun prioritas dan pentahapan dalam pemenuhannya. Hal ini akan mempermudah perencanaan alokasi anggaran serta pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Mashlahah dalam income dan expenditure
Menurut Ibnu Sina, ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh manusia, yaitu income dan expenditure. Ketika seseorang menginginkan keberkahan, maka ia harus memulai untuk meraih keberkahan tersebut jauh sebelum konsumsi dilakukan.
Ia harus bekerja dengan cara yang baik, karena islam mempertimbangkan proses pencarian rezeki harus dilalui dengan proses yang halal dan sah. Sebelum akhirnya dibelanjakan untuk suatu barang/jasa, dengan cara yang baik pula.
A. Income
B. Expenditure
Adapun expenditure, Ibnu sina mengklasifikasikan menjadi pengeluaran wajib dan tidak wajib. Pengeluaran wajib terkait dengan nafkah sehari-hari dan amal kebajikan untuk orang lain. Adapun yang termasuk pengeluaran tidak wajib adalah simpanan.
Aplikasi maqhashid dalam final spending
Final spending adalah konsumsi dan infak seorang muslim, yaitu konsumsi yang berorientasi duniawi untuk menjaga berbagai macam kebutuhan dharuriya. Lebih jauh lagi maksud dari konsumsi itu sendiri adalah penjagaan terhadap eksitensi agama, kehidupan, akal, keturunan, dan juga harta kelima hal ini dikenal dengan konsep al-khuliyat al-khamsah.
Adapun infak merupakan representasi dari kebutuhan seseorang yang berorientasi kepada akhirat. Untuk menjaga al-khuliyat al-khamsah orang lain yang berpendapatan rendah demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Selain itu, infak juga merupakan tabungan pahala disisi Alah, yang ketika frekuensi kegiatannya naik maka akan menaikkan kebeerkahan dalam harta seseorang.
Monzer Khaf memperkenalkan final spending sebagai variabel standar konsumen muslim dalam melihat kepuasan optimun. Khaf mengikutkan variabel zakat sebagai variabel yang menjadi keharusan dalam sistem perekonomian islam. Khaf berasumsi bahwa zakat merupakan kewajiban bagi para muzakki. Dengan demikan zakat tidak masuk final spending.
Dalam perspektif islam, kebutuhan ditentukan oleh maslahah. Pembahasan tentang konsep kebutuhan tidak dapat dipisahkan dari kajian tentang perilaku konsumen dalam kerangka malqhasid syariah. Di mana tujuan syariah hanya dapat menentukan tujuan perilaku konsumen dalam islam.
Memenuhi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan atau keinginan yaitu tujuan dari aktivitas ekonomi islam, dan usaha-usaha untuk pencapaian tujuan tersebut merupakan salah satu kewajiban dalam agama. Konsep kebutuhan dalam islam bersifat dinamis merujuk pada tingkat ekonomi yang ada pada masyarakat.
Konsumsi dalam ekonomi islam adalah memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan kesejahteraan atau kebahagiaan dunia dan akhirat (falah).
Dalam melakukan konsumsi maka prilaku konsumen terutama seorang Muslim selalu dan harus didasarkan pada syariah Islam.
Dharuriyat
Kebutuhan dharuriyat merupakan tingkat kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi akan terancam keselamatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat kelak. Kebutuhan dharuriyat mencakup:
- Agama (din)
- Kehidupan (nafs)
- Pendidikan (‘aql)
- Keturunan (nasl)
- Harta (mal)
Lima kebutuhan dharuriyat (esensial) yang mencakup din, nafs, ‘aql, nasl, dan mal, merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Bila satu jenis saja yang sengaja diabaikan, maka akan menimbulkan ketimpangan dalam hidup manusia.
Hajiyat
Kebutuhan hajiyat adalah kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan tersebut tidak terwujudkan atau tidak terpenuhi, tidak akan mengancam keselamatan manusia. Namun, akan mengalami kesulitan. Syariat islam menghilangkan kesulitan itu, dengan adanya hukum rukhsah (keringinan) adalah sebagai contoh dari kepedulian syariat islam terhadap kebutuhan ini.
Tahsiniyat
Kebutuhan tahsiniyat adalah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksitensi salah satu dari lima pokok di atas dan tidak pula menimbulkan kesulitan. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap, dikenal juga sebagai kebutuhan tersier.
Seperti dikemukakan oleh Al-Syatibi, hal-hal yang istiadat, menghindarkan hal-hal yang tidak enak dipandang mata, dan berhias dengan keindahan yangsesuai dengan tuntutan, norma dan ahklak.
Konsep mashlahah dalam konsumsi sesuai dengan maqhasid al-syari’ah
Konsumsi merupakan kegiatan menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Konsumsi adalah semua penggunaan barang dan jasa yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Barang dan jasa dalam produksi ini digunakan untuk memproduksi barang lain. Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen diatas tersebut pada setiap individu, itulah yang disubut dengan masslahah.
Aktivitas ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut mashlahah tersebut harus dikerjakan sebagai ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan dunia saja tetapi juga kesejahteraan akhirat. Mencakupi kebutuhan dan bukan memenuhi kebutuhan/keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi islam, dan usaha pencapaian tujuan adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Menurut Hendri Anto ada empat hal mashlahah:
1. Mashlahah relative objektif karena bertolak pada pemenuhan kebutuhan karena ditentukan bedasarkan pertimbangkan rasional normatif dan positif.
2. Mashlahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi yaitu, produsen , konsumen, dan distributor, maka arah pembangunan ekonomi akan menuju pada titik yang sama yaitu peningkatan kesejahteraan hidup.
3. Maslahah individual akan relatif konsisten dangan mashlahah sosial.
4. Mashlahah merupakan konsep yang lebih terukur (accountable) dan dapat diperbandingkan (comparable) sehingga lebih mudah disusun prioritas dan pentahapan dalam pemenuhannya. Hal ini akan mempermudah perencanaan alokasi anggaran serta pembangunan ekonomi secara keseluruhan.
Mashlahah dalam income dan expenditure
Menurut Ibnu Sina, ada dua hal penting yang harus diperhatikan oleh manusia, yaitu income dan expenditure. Ketika seseorang menginginkan keberkahan, maka ia harus memulai untuk meraih keberkahan tersebut jauh sebelum konsumsi dilakukan.
Ia harus bekerja dengan cara yang baik, karena islam mempertimbangkan proses pencarian rezeki harus dilalui dengan proses yang halal dan sah. Sebelum akhirnya dibelanjakan untuk suatu barang/jasa, dengan cara yang baik pula.
A. Income
- Kualitas: seseorang harus mendapatkan harta dengan cara yang halal dan baik.
- Kuantitas: islam memotivasi umatnya agar mencari rezeki yang banyak, agar bisa mencukupi kebutuhan pokok dasarnya.
B. Expenditure
- Kualitas: seseorang harus mengeluarkan hartanya untuk hal-hal yang halal dan baik.
- Kuantitas: islam melarang umatnya bersikap boros ataupun kikir dalam membelanjakan hartanya.
Adapun expenditure, Ibnu sina mengklasifikasikan menjadi pengeluaran wajib dan tidak wajib. Pengeluaran wajib terkait dengan nafkah sehari-hari dan amal kebajikan untuk orang lain. Adapun yang termasuk pengeluaran tidak wajib adalah simpanan.
Aplikasi maqhashid dalam final spending
Final spending adalah konsumsi dan infak seorang muslim, yaitu konsumsi yang berorientasi duniawi untuk menjaga berbagai macam kebutuhan dharuriya. Lebih jauh lagi maksud dari konsumsi itu sendiri adalah penjagaan terhadap eksitensi agama, kehidupan, akal, keturunan, dan juga harta kelima hal ini dikenal dengan konsep al-khuliyat al-khamsah.
Adapun infak merupakan representasi dari kebutuhan seseorang yang berorientasi kepada akhirat. Untuk menjaga al-khuliyat al-khamsah orang lain yang berpendapatan rendah demi terciptanya keadilan dan kesejahteraan. Selain itu, infak juga merupakan tabungan pahala disisi Alah, yang ketika frekuensi kegiatannya naik maka akan menaikkan kebeerkahan dalam harta seseorang.
Monzer Khaf memperkenalkan final spending sebagai variabel standar konsumen muslim dalam melihat kepuasan optimun. Khaf mengikutkan variabel zakat sebagai variabel yang menjadi keharusan dalam sistem perekonomian islam. Khaf berasumsi bahwa zakat merupakan kewajiban bagi para muzakki. Dengan demikan zakat tidak masuk final spending.