Mengenal Tokoh Pemikiran Ekonomi Islam Al-Syatibi dan Kiprahnya Dalam Ekonomi Islam
Perkembangan Ekonomi Islam menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah Islam, perkembangan Ekonomi Islam yang telah ada sejak tahun 600M kurang begitu dikenal masyarakat. Ekonomi Islam kurang mendapat perhatian yang baik, sebab masyarakat tidak mendapatkan informasi yang memadai.
Pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak Muhammad SAW ditunjuk sebagai seorang Rasul. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan Rasulullah SAW menjadikan pedoman oleh para Khalifah sebagai penggantinya dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata kehidupan ekonomi negara.
Biografi Al-Syatibi
Al-syatibi merupakan seorang cendikiawan muslim yang berasal dari suku Arab Lakhmi. Al-Syatibi adalah filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki. Nama lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi.
Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti, namun nama al-Syatibi sering dihubungkan dengan nama sebuah tempat di Spanyol bagian timur, yaitu Sativa atau Syatiba (Arab), yang asumsinya al-Syatibi lahir atau paling tidak pernah tinggal di sana. Dia meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M dan dimakamkan di Gharnata.
Al-Syatibi di besarkan dan memperoleh pendidikan di kerajaan Nashr, Granada. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan memadai, al-syatibi mengembangkan potensi keilmuannyadengan mengajarkan kepada generasi selanjutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar Al- Qadi dan Abu Abdillah Al-Bayani.
Konsep Maqhasid Syariah
Menurut Al- Syatibi “ Sesungguhnya Syariah bertujuan untuk mewujudkan Kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat “.
Dia menegaskan bahwa tidak satupun Hukum Allah SWT yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat di laksanakan.
Kemashlahatan disini di artikan sebagai sesuatu yang mrenyangkut rezeki manusia, pemenuhan kebutuhan kehidupan dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. syariah berurusan dengan perlindungan Mashlahih baik dengan cara yang positif atau potensial yang merusak mashlahih.
Karya Al-Syatibi
Berikut adalah daftar karya al-Syatibi yang dapat dilacak dalam beberapa literature klasik. Karyanya itu mencakup dua bidang: sastra arab dan jurisprudensi.
Pembagian Maqashid al-Syariah
Menurut imam Al-Syatibi kemaslahatan manusia bisa terealisasi apabila lima unsur pokok maqashid syariah bisa terwujudkan.
Adapun 5 unsur pokok maqashid syariah:
Imam al-syatibi membagi maqashid syariah menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Dharuriyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia.
2. Hajiyat adalah kebutuhan sekunder, dimana tidak terwujudkan keperluan ini tidak sampai mengaca keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan dan kesukaran bahkan mungkin berkepanjangan, tetapi tidak sampai ketingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak berdaya.
3. Tahsiniyat adalah kebutuhan tersier yaitu semua keperluan dan perlindungan yang diperlukan agar kehidupan menjadi nyaman, mudah, dan lapang, begitu seterusnya.
Pemikiran Imam Asy Syatibi dalam Bidang Ekonomi
1. Objek Kepemilikan
Pada dasarnya, Asy Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak.
Beliau menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan siapapun. Dalam hal ini, Imam Asy Syatibi membagi 2(dua) macam air, yaitu :
2. Pajak
Menurut Imam Asy Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah yakni kepentingan umum.
Beliau menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat bersama bukan hanya pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam asalkan tujuan pengenaan pajak tersebut sudah pasti digunakan untuk kepentingan umum.
Kolerasi antara dharuriyat, hajiat, dan tahsiniyat
Dari hasil penelaahnya secara lebih mendalam, al-syatibi menyimpulkan kolerasi antara dharuriyat, hijayat, dan tahsiniyat sebagai berikut.
Maqasyid dharuriyat merupakan dasar bagi maqasyid hajiniat dan maqasyid tahsiniyat.
Kerusakan pada maqasyid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqasyid hajiyat dan maqasyid tahsiniyat.
Sebaliknya, kerusakan pada maqasyid hajiniat dan maqasyid tahsiniyat tidak dapat membawa kerusaka pada maqasyid tdharuriyat.Kerusakan pada maqasyid hajiat dan maqasyid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqasyid dharuriyat.
Pemeliharaan maqasyid hajiat dan maqasyid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqasyid dharuriyat secara tepat. Dengan demikian, apabila dianalisi lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqasyid tersebut tidak dapat dipisahkan.
Tampaknya, bagi al-syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurna tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiat dan tahsiniyat.
Pengklasifikasi yang dilakukan as-syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehdupan manusia. Di samping itu, pengklasifikasian tersebut juga memacu pada pengembangan dan dinamika pemahaman hokum yang diciptakan Allah SWT. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.
Mustafa anas zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujudnya aspek dharuriyat dapt merusak kehidupan manusia didunia dan akhirat secara keseluruhan. Pengabaiaan terhadap aspek hajiat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya.
Adapun pengabaian terhadap aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus disampingkan jika bertentangan dengan maqasyid yang lebih tinggi ( dharuriyat dan hajiyat).
Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Al-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syari’ah. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan aktifitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti di definisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan.
Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktifitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karen itu, problemmatika ekonomi manusia dan perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs) dengan sumber daya yang tersedia.
Menurut Maslow
Apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan prioritas. Seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi.
Berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari:
Dalam dunia manajmen kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleq maslow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikiut:
Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh maslow diatas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqhasid A-Syari’ah.
Bahkan konsep yang telah dikemukakan oleq Al-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagi faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian maslow. Seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi factor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dalam persfektif Islam, berpijak pada doktri keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperolah kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotifasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan meningkatkan produktifitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Pemikiran Ekonomi Islam diawali sejak Muhammad SAW ditunjuk sebagai seorang Rasul. Selanjutnya, kebijakan-kebijakan Rasulullah SAW menjadikan pedoman oleh para Khalifah sebagai penggantinya dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi. Al-Qur’an dan Al-Hadist digunakan sebagai dasar teori ekonomi oleh para khalifah juga digunakan oleh para pengikutnya dalam menata kehidupan ekonomi negara.
Biografi Al-Syatibi
Al-syatibi merupakan seorang cendikiawan muslim yang berasal dari suku Arab Lakhmi. Al-Syatibi adalah filosof hukum Islam dari Spanyol yang bermazhab Maliki. Nama lengkapnya, Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi al-Syatibi.
Tempat dan tanggal lahirnya tidak diketahui secara pasti, namun nama al-Syatibi sering dihubungkan dengan nama sebuah tempat di Spanyol bagian timur, yaitu Sativa atau Syatiba (Arab), yang asumsinya al-Syatibi lahir atau paling tidak pernah tinggal di sana. Dia meninggal pada hari Selasa tanggal 8 Sya’ban tahun 790H atau 1388 M dan dimakamkan di Gharnata.
Al-Syatibi di besarkan dan memperoleh pendidikan di kerajaan Nashr, Granada. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan memadai, al-syatibi mengembangkan potensi keilmuannyadengan mengajarkan kepada generasi selanjutnya, seperti Abu Yahya ibn Asim, Abu Bakar Al- Qadi dan Abu Abdillah Al-Bayani.
Konsep Maqhasid Syariah
Menurut Al- Syatibi “ Sesungguhnya Syariah bertujuan untuk mewujudkan Kemashlahatan manusia di dunia dan Akhirat “.
Dia menegaskan bahwa tidak satupun Hukum Allah SWT yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat di laksanakan.
Kemashlahatan disini di artikan sebagai sesuatu yang mrenyangkut rezeki manusia, pemenuhan kebutuhan kehidupan dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. syariah berurusan dengan perlindungan Mashlahih baik dengan cara yang positif atau potensial yang merusak mashlahih.
Karya Al-Syatibi
Berikut adalah daftar karya al-Syatibi yang dapat dilacak dalam beberapa literature klasik. Karyanya itu mencakup dua bidang: sastra arab dan jurisprudensi.
- Syarh Jalil ‘ala al-Khulasa fi al-Nahw.
- Unwan al-Ittifaq fi‘Ilm al-Isytiqaq.
- Kitab Ushul al-Nahw.
- Al-Ifadat wa al-Irsyadat Insya’at.
- Kitab al-Majlis.
- Kitab al-I‘tisam.
- Al-Muwafaqat.
- Fatawa
Pembagian Maqashid al-Syariah
Menurut imam Al-Syatibi kemaslahatan manusia bisa terealisasi apabila lima unsur pokok maqashid syariah bisa terwujudkan.
Adapun 5 unsur pokok maqashid syariah:
- Melindungi Agama
- Melindungi Jiwa
- Melindungi Akal
- Melindungi Keturunan
- Melindungi Harta
Imam al-syatibi membagi maqashid syariah menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1. Dharuriyat adalah tingkat kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan primer. Bila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, akan terancam keselamatan umat manusia.
2. Hajiyat adalah kebutuhan sekunder, dimana tidak terwujudkan keperluan ini tidak sampai mengaca keselamatannya, namun akan mengalami kesulitan dan kesukaran bahkan mungkin berkepanjangan, tetapi tidak sampai ketingkat menyebabkan kepunahan atau sama sekali tidak berdaya.
3. Tahsiniyat adalah kebutuhan tersier yaitu semua keperluan dan perlindungan yang diperlukan agar kehidupan menjadi nyaman, mudah, dan lapang, begitu seterusnya.
Pemikiran Imam Asy Syatibi dalam Bidang Ekonomi
1. Objek Kepemilikan
Pada dasarnya, Asy Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak.
Beliau menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan siapapun. Dalam hal ini, Imam Asy Syatibi membagi 2(dua) macam air, yaitu :
- Air yang tidak dapat dijadikan sebagai objek kepemilikan, namun dijadikan sebagai kepemilikan umum seperti sungai. Karena secara pembentukannya menghalangi untuk dijadikan sebagai kepemilikan pribadi.
- Air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan secara pribadi seperti air yang dibeli atau termasuk bagian dari sebidang tanah milik individu.
2. Pajak
Menurut Imam Asy Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah yakni kepentingan umum.
Beliau menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum secara esensial adalah tanggung jawab masyarakat bersama bukan hanya pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut belum pernah dikenal dalam sejarah Islam asalkan tujuan pengenaan pajak tersebut sudah pasti digunakan untuk kepentingan umum.
Kolerasi antara dharuriyat, hajiat, dan tahsiniyat
Dari hasil penelaahnya secara lebih mendalam, al-syatibi menyimpulkan kolerasi antara dharuriyat, hijayat, dan tahsiniyat sebagai berikut.
Maqasyid dharuriyat merupakan dasar bagi maqasyid hajiniat dan maqasyid tahsiniyat.
Kerusakan pada maqasyid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqasyid hajiyat dan maqasyid tahsiniyat.
Sebaliknya, kerusakan pada maqasyid hajiniat dan maqasyid tahsiniyat tidak dapat membawa kerusaka pada maqasyid tdharuriyat.Kerusakan pada maqasyid hajiat dan maqasyid tahsiniyat yang bersifat absolut terkadang dapat merusak maqasyid dharuriyat.
Pemeliharaan maqasyid hajiat dan maqasyid tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqasyid dharuriyat secara tepat. Dengan demikian, apabila dianalisi lebih jauh, dalam usaha mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga tingkat maqasyid tersebut tidak dapat dipisahkan.
Tampaknya, bagi al-syatibi, tingkat hajiyat merupakan penyempurna tingkat daruriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna lagi bagi tingkat hajiyat, sedangkan dharuriyat menjadi pokok hajiat dan tahsiniyat.
Pengklasifikasi yang dilakukan as-syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok itu dalam kehdupan manusia. Di samping itu, pengklasifikasian tersebut juga memacu pada pengembangan dan dinamika pemahaman hokum yang diciptakan Allah SWT. Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia.
Mustafa anas zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujudnya aspek dharuriyat dapt merusak kehidupan manusia didunia dan akhirat secara keseluruhan. Pengabaiaan terhadap aspek hajiat tidak sampai merusak keberadaan lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf dalam merealisasikannya.
Adapun pengabaian terhadap aspek tahsiniyat mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna. Lebih jauh, ia mengatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat tahsiniyat harus disampingkan jika bertentangan dengan maqasyid yang lebih tinggi ( dharuriyat dan hajiyat).
Wawasan Modern Teori Al-Syatibi
Al-Syatibi menggunakan istilah maslahah untuk menggambarkan tujuan syari’ah. Dengan kata lain, manusia senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan aktifitas ekonomi produksi, konsumsi, dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti di definisikan syari’ah harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan.
Pemenuhan kebutuhan dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktifitas ekonomi, dan pencarian terhadap tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk memecahkan berbagai permasalahan ekonominya. Oleh karen itu, problemmatika ekonomi manusia dan perspektif Islam adalah pemenuhan kebutuhan (fulfillment needs) dengan sumber daya yang tersedia.
Menurut Maslow
Apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan, pemenuhan kebutuhan yang paling mendasar merupakan prioritas. Seorang individu baru akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi.
Berdasarkan konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahwa garis hierarkis kebutuhan manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari:
- Kebutuhan fisiolagi (fisiological needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan dan minum. Jika belum terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan menyamp ingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.
- Kebutuhan keamanan (safety needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik dan kesehatan serta krisis ekonomi.
- Kebutuhan sosial (social needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih sayang dan persahabatan. Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
- Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), mencakup kebutuhan terhadap penghornatan dan pengakuan diri. Pemenuhan kebutuhan ini akan mempengaruhi rasa percaya diri dan prestise seseorang.
- Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs), mencakup kebutuhan memberdayakan seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan inimerupakan tingkat kebutuhan yang paling tinggi.
Dalam dunia manajmen kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleq maslow tersebut dapat diaplikasikan sebagai berikiut:
- Pemenuhan kebutuhan pisiologi antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji yang adil dan lingkungan kerja yang nyaman.
- Pemenuhan kebutuhan keamanan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pemberian tunjangan, keamanan kerja dan lingkungan kerja yang aman.
- Pemenuhan kebutuhan sosial antara lain dapat diaplikasikan dalam hal dorongan terhadap kerja sama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi sosial.
- Pemenuhan kebutuhan akan penghargaan antara lain dapat diaplikasikan dalam hal penghormatan terhadap jenis pekerjaan, signifikansi aktivitas dan pekerjaan dan pengakuan publik terhadap performance yang baik.
- Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri antara lain dapat diaplikasikan dalam hal pilihan dalam berkreatifitas dan pantangan pekerjaan.
Bila ditelaah lebih dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukakan oleh maslow diatas sepenuhnya telah terakomodasi dalam konsep maqhasid A-Syari’ah.
Bahkan konsep yang telah dikemukakan oleq Al-Syatibi mempunyai keunggulan komparatif yang sangat signifikan, yakni menempatkan agama sebagi faktor utama dalam elemen kebutuhan dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian maslow. Seperti yang telah dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi factor penentu dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dalam persfektif Islam, berpijak pada doktri keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperolah kemaslahatan di dunia dan di akhirat merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotifasi untuk selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu akan meningkatkan produktifitas kerja dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.