Sejarah Perkembangan Bank Syariah di Indonesia Dalam Ilmu Ekonomi Islam
Bank Muamalat Indonesia (BMI) adalah bank syariah yang pertama kali didirikan di Indonesia pada tahun 1991 sebagai bank umum satu-satunya yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Namun, eksistensi bank syariah di Indonesia secara formal dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank syari’ah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri perbankan nasional. Hal ini disebabkan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah karena masih belum secara tegas mencantumkan kata-kata “prinsip syariah” dalam kegiatan usahanya hanya menggunakan istilah bank bagi hasil.
Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum sesuai dengan cakupan pengertian bank syariah yang relatif lebih luas dari bank bagi hasil. Dengan tidak adanya pasal-pasal dalam UU tersebut yang mengatur bank syariah, maka hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank syariah.
Dalam periode 1992 sampai dengan 1998, terdapat hanya satu bank umum syari’ah dan 78 bank perkreditan rakyat syari’ah (BPRS) yang telah beroperasi. Pada tahun 1998, dikeluarkan UU No. 10 Tahun 1998 sebagai amandemen dari UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang secara eksplisit menetapkan bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Era Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kebijakan hukum perbankan di Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system).
Kebijakan ini intinya memberikan kesempatan bagi bank-bank umum konvensional untuk memberikan layanan syariah melalui mekanisme islamic window dengan terlebih dahulu membentuk Unit Usaha Syariah (UUS).
Akibatnya pasca undang-undang ini memunculkan banyak bank konvensional yang ikut andil dalam memberikan layanan syariah kepada nasabahnya. Kemudian, pada tahun 1999 disahkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk dapat pula menjalakan tugasnya berdasarkan prinsip syari’ah.
Industri Perbankan Syari’ah berkembang lebih cepat setelah kedua perangkat perundang-undangan tersebut diberlakukan.
Dalam perjalanannya perbankan syariah mampu bertahan dan tetap eksis dari adanya krisis, seperti yang terjadi pada tahun 1998, sedangkan bank-bank konvensional banyak yang dilikuidasi karena kegagalan sistem bunganya.
Hal ini dapat dilihat dari relatif lebih rendahnya penyaluran pembiayaan yang bermasalah (non performing loans) pada bank syariah dan tidak terjadinya negative spread dalam kegiatan operasionalnya.
Hal tersebut dapat dipahami mengingat tingkat pengembalian pada bank syariah tidak mengacu pada tingkat suku bunga dan pada akhirnya dapat menyediakan dana investasi dengan biaya modal yang relatif lebih rendah kepada masyarakat. Data menunjukkan bahwa bank syariah relatif lebih dapat menyalurkan dana kepada sektor produksi dengan LDR (loan deposit ratio) berkisar antara 113-117 persen.
Pengalaman historis tersebut telah memberikan harapan kepada masyarakat akan hadirnya sistem perbankan syariah sebagai alternatif sistem perbankan yang selain memenuhi harapan masyarakat dalam aspek syariah juga dapat memberikan manfaat yang luas dalam kegiatan perekonomian.
Dari sisi aset, sistem perbankan syariah telah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat yaitu sebesar 74% pertahun selama kurun waktu 1998 sampai 2001 (nominal dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi Rp. 2.718 milyar pada tahun 2001).
Dana Pihak Ketiga telah meningkat dari Rp. 392 milyar menjadi Rp. 1.806 milyar. Sistem perbankan syariah telah pula mengalami pertumbuhan dalam hal kelembagaan. Jumlah bank umum syariah telah meningkat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 Unit Usaha Syariah (UUS) dan 81 BPRS pada akhir tahun 2001. Jumlah kantor cabang dari bank umum syariah dan UUS dari 26 telah meningkat menjadi 51 Kantor.