Ini Dia Landasan Hukum Legalitas Bank Islam di Indonesia Dalam Ilmu Ekonomi Islam
Ini Dia Landasan Hukum Legalitas Bank Islam di Indonesia | Setiap Lembaga Keuangan yang Ada di Indonesia dalam pendiriannya harus memenuhi aspek-aspek legalitas agar bisa beroperasi. Bank Syariah, sebagai salah satu lembaga keuangan syariah yang eksis di Indonesia juga memiliki landasan hukum dalam operasionalnya.
Berikut adalah Landasan Hukum Legalitas Bank Islam di Indonesia;
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
Berikut adalah Landasan Hukum Legalitas Bank Islam di Indonesia;
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
Memperkenalkan sistem Perbankan Bagi Hasil. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1 angka (12), Pasal 6 huruf (m), dan Pasal 13 huruf (c). Secara lengkap pasal-pasal tersebut berbunyi:
Pasal 1 angka (12) :
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.”
Pasal 6 tentang Usaha Bank Umum Pasal 6 huruf (m) :
“Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”
Pasal 13 tentang Usaha BPR Pasal 13 huruf (c) :
“Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah”.
Ketentuan tentang bagi hasil tersebut ditindaklanjuti dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Pasal 2 ayat 1 PP tersebut menetapkan bahwa: “prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syarih” (harus sesuai dengan syariat Islam).
Selanjutnya Pasal 6 PP tersebut secara tegas menetapkan:
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil.
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Undang-undang ini memberikan penegasan terhadap konsep perbankan islam dengan mengubah penyebutan “Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil” pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Juga terdapat penguatan kedudukan Hukum Islam bidang perikatan dalam tatanan hukum positif. Pasal 1 ayat (13) ini menyebutkan sebagai berikut :
“Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual-beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa Iqtina’).”
Masalah yang diatur dalam undang-undang ini selain berupa penegasan terhadap eksistensi Perbankan Syariah di Indonesia juga menyangkut kelembagaan dan operasional Bank Syariah. Sebagai pelaksanaan dari undang-undang ini, kemudian dikeluarkannya sejumlah ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Direksi Bank Indonesia yang memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang luas bagi pengembangan perbankan Syariah di Indonesia.
Pada masa awal sebagai pengaturan lebih lanjut tentang ketentuan operasional bank berdasarkan prinsip-prinsip syariah, dikeluarkanlah SK Direksi BI No. 32/34/KEP//DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum berdasarkan prinsip syariah, dan SK Direksi BI No. 32/36/KEP/DIR tanggal 12 1999 tentang Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan Prinsip syaraiah. Kedua SK tersebut kemudian diganti dengan Peraturan Bank Indonesia (PBI) yaitu untuk bank umum syariah diatur oleh PBI. No. 6/24//PBI/2004 tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah jo PBI/No. 7/PBI/2005 tanggal 25 September 2005 tentang perubahan atas PBI No. 6/24/PBI No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dan untuk bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) diatur dengan PBI No. 6//17/PBI/2004 tanggal satu juli 2004 tentang Bank Perkereditan Rakyat berdasarkan prinsip syariah. Pemberlakuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini merupakan momen pengembangan perbankan syariah di Indonesia.
Pada periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 ini juga dapat dilihat adanya beberapa permasalahan hukum yang masih harus diatur lebih lanjut dalam pengaturan tersendiri yang perlu dipertimbangkan dalam regulasi perbankan nasional yang akan datang. Pada masa ini operasional perbankan syariah masih mengacu pada ketentuan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Kedudukan fatwa belum mendapat pengakuan yang kuat dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, sehingga dalam pengaturan ke depan, perlu pula dipertimbangkan pengukuhan kedudukan fatwa dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha, penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun Unit Usaha Syariah yang merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.
UU ini terdiri dari XIII Bab, Pasal 70. Undang-Undang ini mengatur tentang beberapa hal, yaitu:
- Jenis Usaha Bank Syariah
- Ketentuan pelaksanaan syariah
- Kelayakan usaha
- Penyaluran dana bank syariah
- Larangan bagi bank syariah dan Unit Usaha Syariah
- Kepatuhan Syariah
Undang undang Nomor 21 tahun 2008 memiliki beberapa ketentuan umum dan akan memberikan implikasi tertentu, meliputi:
Istilah Bank Perkreditan Rakyat yang diubah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Perubahan ini untuk lebih menegaskan adanya perbedaan antara kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Definisi Prinsip Syariah. Dalam definisi dimaksud memiliki dua pesan penting yaitu (1) prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dan (2) penetapan pihak/lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa yang menjadi dasar prinsip syariah.
Penetapan Dewan Pengawas Syariah sebagai pihak terafiliasi seperti halnya akuntan publik, konsultan dan penilai.
Definisi pembiayaan yang berubah secara signifikan dibandingkan definisi yang ada dalam Undang-Undang sebelumnya tentang perbankan (Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998). Dalam definisi terbaru, pembiayaan dapat berupa transaksi bagi hasil, transaksi sewa menyewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam dan transaksi sewa menyewa jasa (multijasa).
Kemudian Bank Syariah yang telah mendapatkan izin usaha setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini, wajib mencantumkan dengan jelas kata ”syariah” setelah kata ”bank” atau nama bank .
Sedangkan Unit Usaha Syariah yang telah mendapatkan izin usaha setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ini, wajib mencantumkan dengan jelas frase ”Unit Usaha Syariah” setelah nama Bank pada kantor Unit Usaha Syariah yang bersangkutan.